Adalah salah satu
bentuk movement "merthi kutho" dari teman-teman street art
Jogja untuk mengkritisi kondisi ruang
publik yang beralih fungsi menjadi lahan iklan yang dikuasai para pemilik
kepentingan ekonomi di Jogja sendiri.
Asal muasal "Jogja
Ora Didol" berawal dari teman-teman street art yang memakainya
sebagai background set pementasan teaternya Jamaluddin Latif (Mas
Jamal) di FKY ke-25 pada Juni 2013 lalu. Teater berjudul "Kota Untuk
Manusia" membawakan kalimat Jogja Tidak Dijual dengan plat seng sebagai
media muralnya. Disusul kemudian "Festival Mencari Haryadi" yang
pentas pada bulan Oktober ditahun yang sama dengan teman-teman street art
yang diminta pula untuk menyumbangkan karyanya.
Dari sinilah
ungkapan "Jogja Tidak Dijual" bertransformasi menjadi JOGJA ORA DIDOL
dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, dari media plat seng ke media tembok.
Ternyata perpindahan tersebut tidak hanya pada bahasawan media yang digunakan,
tetapi yang pada awalnya tidak dipermasalahkan tiba-tiba menjadi masalah yang
begitu besar.
Berbagai bentuk
simbol dukungan untuk menyuarakan ungkapan Jogja Ora Didol pun kemudian ramai
digencarkan. Dari mulai hashtag #JogjaOraDidol di social media,
berbagai merchandise seperti kaos bertuliskan Jogja Ora Didol,
hingga sebuah lagu hip-hop beraliran yang dipersembahkan oleh Jogja Hip-hop Foundation dengan judul yang
sama dengan ungkapan tersebut. Selain itu masih banyak pula simbol-simbol dari
ungkapan Jogja Ora Didol yang dikemas secara kreatif namun tetap kritis.
Jika di Bali ada
gerakan Bali Tolak Reklamasi, maka di Jogja ada Jogja Ora Didol !.
Baca Juga : Interview Guide with Farid Stevy Asta
No comments:
Post a Comment